Minggu, 10 April 2011

Ulos Batak Toba



Bersama Toba dot Com - Siapa yang tak kenal ulos? Kain tenunan indah dari kebudayaan Batak. Secara harafiah, ulos berarti kain selimut. Menurut leluhur Batak, ulos merupakan lambang kasih sayang dan dapat memberikan kehangatan.

Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak, harus terus dikembangkan agar dapat mendunia. Ulos mempunyai keistimewaan tersendiri yang tidak dimiliki kain tenun lainnya. Yakni ulos bukan hanya sekedar produk berbentuk kain tenun melainkan juga mempunyai kedudukan tersendiri di dalam budaya Batak yang dikenal dengan kasih sayang mereka yang hangat.


gmbarkain ulos   Ulos dirajini sepenuhnya dari benang yang diciptakan dari tumbuh-tumbuhan dan pewarna alami. Penenunannya pun dilakukan dengan tangan sehingga memakan waktu yang sangat lama untuk menyelesaikan satu lembar. Secara tradisional, ruang tenun terletak di kolong rumah-panggung penenun, yang secara tradisonal adalah perempuan.
Pada perkembangannya, ulos juga telah diberikan kepada orang non-Batak yang dapat dimaknai sebagai tanda penghormatan kepada si penerima ulos. Ulos sebagai salah satu warisan budaya Batak dianggap penting untuk terus dikembangkan agar dapat mendunia.

SEJARAH RUMAH ADAT BATAK





Berbicara soal alam demokrasi di Indonesia, masyarakat Batak Toba ternyata jauh sebelum era kolonialisme telah mengenal demokrasi. Sistem sosial politik orang Batak Toba pada saat itu telah memiliki institusi-institusi politik dalam bius (organisasi-organisasi teritorial mandiri), yakni semacam pemimpin sekuler dan pemimpin bius ini disebut dengan raja bius.
Pernyataan tersebut dikemukakan peneliti Universitas Leiden Belanda Dr. Johann Angerler, dalam kuliah umum “Sistem Sosial Politik Batak Toba Sebelum Kolonial” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, Kamis.
Menurut Johann yang juga penulis disertasi “Bius, Parbaringin dan Paniaran” ini, pada awalnya, sebelum prakolonial masyarakat Batak Toba digambarkan sebagai masyarakat tanpa negara stateless society, diatur secara terpisah-pisah segmentarily dan memiliki sebuah sistem sosial yang relatif egaliter.
Dikatakannya, dalam bius terdapat parbaringin yakni struktur hirarkhis sebagai pemimpin yang mengurusi upacara dan ritual yang berbeda dari datu yang dilihat sebagai ahli sihir. Pengaruh parbaringin terhadap dimensi sosial politik masyarakat sangat krusial, setiap parbaringin mewakili kelompok yang berbeda dalam bius organisasi teritorial Batak Toba.
“Kedudukan parbaringin bisa diturunkan dan biasanya diwariskan dari ayah ke anak laki-laki tertua. Melalui sebuah upacara, mereka sekaligus mengatur siklus tanam dan menjaga sistem irigasi,” katanya.
Melalui pengetahuan mereka yang luas dan pelaksanaan ritual sebagai instrumen yang terpenting paparnya, mereka dapat mempengaruhi proses politik dan ekonomi. Parbaringin memiliki andil kekuasaan dalam organisasi-organisasi teritorial lokal, namun mereka bukanlah penguasa sesungguhnya, meskipun mereka disebut raja.
Disamping Parbaringin katanya, juga dikenal pemimpin lainnya dalam suatu bius yang disebut dengan Paniaran, yakni pemimpin perempuan dalam suatu bius.
Tugas-tugas paniaran ini terangnya, adalah untuk menyampaikan aspirasi perempuan dalam bius, atau sebagai bentuk saluran aspirasi keterwakilan perempuan di tingkat regional bius.
“Jadi sesungguhnya konsep bius, parbaringin, dan paniaran itu adalah spirit demokrasi bagi masyarakat Batak Toba sebelum era kolonialisme Belanda di tanah Toba,” katanya.(*an/z)

Sabtu, 09 April 2011

Prof. Robert Sibarani : Orang Batak Bekerja Keras Untuk Mewujudkan Misinya


 
Medan, Prof. Robert Sibarani mengatakan, masyarakat Batak memiliki ciri sebagai orang yang dapat bekerja keras dalam mewujudkan misinya. Karenanya ke depan, lanjutnya, peran pemuka masyarakat terutama pemimpin marga-marga sangat dibutuhkan dalam pengembangan budaya.

Menurut Rektor Universitas Darma Agung (UDA) dalam Seminar Terbuka Peranan Marga Dalam Pengembangan dan Pelestarian Budaya Dunia Pariwisata Sumatera Utara di Balai Rama, Tiara Hotel Medan Senin (18/10), lembaga pendidikan yang dipimpinnya pun terbuka untuk mengembangkan kualitas pendidikan di Sumut.
Dia pun menjanjikan pemberian beasiswa bagi masyarakat kurang mampu untuk kuliah di UDA dari kawasan Danau Toba dan rekomendasi organisasi marga. “Jika langkah ini dilakukan sejumlah perguruan tinggi Medan, saya yakin tidak ada lagi masyarakat Batak yang tidak mengecap dunia pendidikan,”katanya.
Sementara itu, ada masukan dari peserta seminar agar kegiatan Pesta Danau Toba (PDT) tahun-tahun mendatang melibatkan peran organisasi marga memeriahkan Pesta Danau Toba yang identik dengan Pesta Rakyat tersebut.
Direkomendasikan juga, potensi marga-marga yang strategis dapat digali dan dikembangkan dalam pengembangan budaya dan pariwisata, juga perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi berbagai problem budaya dan penghijauan di kawasan Danau Toba yang dikenal dengan harangan marga (hutan marga,red).
Selain itu juga di rekomedasikan terbentuknya Forum Kesetiakawanan Marga-Marga dalam rangka peningkatan jalinan kerjasama antar-marga untuk mengurangi potensi konflik dan mempersatukan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Saat membuka Seminar, Parlindungan Purba, SH.MM selaku Ketua Umum Pesta Danau Toba tahun 2010 mengungkapkan, Even Pesta Danau Toba (PDT) 2010 diharapkan dapat mengembangkan budaya Sumatera Utara, termasuk budaya Batak. Karenanya, panitia PDT Tahun 2010 merangkul pemuka masyarakat untuk memberikan berbagai masukan dalam pengembangan budaya tersebut.
"PDT merupakan program untuk menyukseskan kepariwisataan Sumut yang dilaksanakan setahun sekali. PDT diharapkan dapat berlangsung sepanjang tahun dengan berbagai kegiatan atraksi budaya, seni, olahraga dan kegiatan lainnya sehingga dapat menjadi pesta bagi semua masyarakat,"katanya.
Parlindungan menyebutkan, PDT bukan hanya ditujukan pada masyarakat Batak. Namun masyarakat Batak harus memiliki peranan nyata dalam pelaksanaannya.
"Kalau masyarakat Batak tak merasa memiliki Pesta Danau Toba, apalah artinya. Kami panitia siap menjadi “parhobas” untuk melayani para tamu,"ujar Ketua PDT Tahun 2010 dihadapan puluhan tokoh masyarakat Batak.
Ia mengakui peranan pimpinan marga sangat besar, dimana dari seminar ini diharapkan adanya muatan pendidikan budaya lokal Sumatera Utara untuk diterapkan dalam kurikulum pendidikan.
Demikian pula untuk pengembangan budaya yang dapat mengembangkan dunia kepariwisataan di Sumatera Utara. "Berbagai masukan yang dihasilkan dari seminar ini akan disampaikan kepada presiden,menteri dan gubernur,"jelasnya.
Dalam kesempatan ini, Parlindungan memaparkan berbagai kegiatan yang dilaksanakan berbagai pihak untuk menyambut PDT Tahun 2010, diantaranya, laucing di Jakarta yang mempertemukan 400 tokoh, launching di Sun Plaza Medan dan festival lagu Tao Toba Star di delapan kabupaten di Sumut.
"Bersamaan dengan pelaksanaan PDT juga akan diadakan pertemuan bisnis dengan pengusaha asal Jakarta sehingga dapat membantu peningkatan perekonomian masyarakat setempat,”katanya.(tosim)