Minggu, 10 April 2011

SEJARAH RUMAH ADAT BATAK





Berbicara soal alam demokrasi di Indonesia, masyarakat Batak Toba ternyata jauh sebelum era kolonialisme telah mengenal demokrasi. Sistem sosial politik orang Batak Toba pada saat itu telah memiliki institusi-institusi politik dalam bius (organisasi-organisasi teritorial mandiri), yakni semacam pemimpin sekuler dan pemimpin bius ini disebut dengan raja bius.
Pernyataan tersebut dikemukakan peneliti Universitas Leiden Belanda Dr. Johann Angerler, dalam kuliah umum “Sistem Sosial Politik Batak Toba Sebelum Kolonial” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan, Kamis.
Menurut Johann yang juga penulis disertasi “Bius, Parbaringin dan Paniaran” ini, pada awalnya, sebelum prakolonial masyarakat Batak Toba digambarkan sebagai masyarakat tanpa negara stateless society, diatur secara terpisah-pisah segmentarily dan memiliki sebuah sistem sosial yang relatif egaliter.
Dikatakannya, dalam bius terdapat parbaringin yakni struktur hirarkhis sebagai pemimpin yang mengurusi upacara dan ritual yang berbeda dari datu yang dilihat sebagai ahli sihir. Pengaruh parbaringin terhadap dimensi sosial politik masyarakat sangat krusial, setiap parbaringin mewakili kelompok yang berbeda dalam bius organisasi teritorial Batak Toba.
“Kedudukan parbaringin bisa diturunkan dan biasanya diwariskan dari ayah ke anak laki-laki tertua. Melalui sebuah upacara, mereka sekaligus mengatur siklus tanam dan menjaga sistem irigasi,” katanya.
Melalui pengetahuan mereka yang luas dan pelaksanaan ritual sebagai instrumen yang terpenting paparnya, mereka dapat mempengaruhi proses politik dan ekonomi. Parbaringin memiliki andil kekuasaan dalam organisasi-organisasi teritorial lokal, namun mereka bukanlah penguasa sesungguhnya, meskipun mereka disebut raja.
Disamping Parbaringin katanya, juga dikenal pemimpin lainnya dalam suatu bius yang disebut dengan Paniaran, yakni pemimpin perempuan dalam suatu bius.
Tugas-tugas paniaran ini terangnya, adalah untuk menyampaikan aspirasi perempuan dalam bius, atau sebagai bentuk saluran aspirasi keterwakilan perempuan di tingkat regional bius.
“Jadi sesungguhnya konsep bius, parbaringin, dan paniaran itu adalah spirit demokrasi bagi masyarakat Batak Toba sebelum era kolonialisme Belanda di tanah Toba,” katanya.(*an/z)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar